MisiNews.id | OKI – Globalisasi hari ini seperti ombak besar yang menyapu ke mana-mana. Bawa teknologi, informasi, budaya asing, sampai pola hidup baru yang semuanya serba cepat dan instan. Di satu sisi, ada manfaat yang kita rasakan. Tapi buat masyarakat adat seperti Suku Kayuagung di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), arus besar ini sering kali datang tanpa perlindungan.
Masyarakat adat Kayuagung hidup dengan nilai-nilai yang sudah diwariskan turun-temurun. Mereka punya cara sendiri dalam menjaga hubungan dengan alam, berinteraksi dengan sesama, dan menjaga keseimbangan hidup. Tapi makin ke sini, semua itu makin tersingkir. Anak-anak muda sekarang banyak yang nggak lagi paham bahasa daerahnya sendiri. Upacara adat dan tradisi perlahan mulai ditinggalkan. Bukan karena mereka nggak peduli, tapi karena memang ruangnya makin sempit.
Budaya global masuk lewat media sosial, YouTube, TikTok—dan sayangnya, nilai-nilai lokal nggak banyak yang ikut naik ke permukaan. Yang dianggap keren adalah yang datang dari luar. Ini yang bikin banyak anak muda ragu untuk bangga dengan identitasnya. Apalagi kalau dari kecil sudah tidak diajarkan lagi soal sejarah, adat, atau bahasa ibunya.
Masalah lain yang lebih berat lagi adalah soal tanah. Banyak wilayah adat masyarakat Kayuagung yang sekarang sudah berubah jadi perkebunan atau proyek pembangunan. Prosesnya pun sering nggak transparan, masyarakat adat jarang diajak bicara. Padahal tanah itu bukan cuma sumber ekonomi, tapi juga bagian dari hidup dan jati diri mereka. Ketika tanah diambil, yang hilang bukan cuma lahan, tapi juga harga diri dan warisan leluhur.
Ironisnya, sampai hari ini belum ada pengakuan resmi dari pemerintah terhadap keberadaan dan hak-hak masyarakat adat Kayuagung. Mereka belum punya payung hukum yang melindungi wilayah adat, budaya, dan cara hidup mereka. Padahal, UUD 1945 sudah jelas-jelas menyebutkan bahwa negara mengakui dan menghormati masyarakat adat, asal masih hidup menurut adat dan diakui oleh masyarakatnya. Dan jelas, Suku Kayuagung memenuhi itu semua.
Seharusnya Pemerintah Kabupaten OKI bisa jadi pelopor. Bikin peraturan daerah (Perda) khusus yang mengakui dan melindungi masyarakat adat Kayuagung. Libatkan tokoh-tokoh adat, pemuda lokal, dan semua pihak yang peduli. Jangan sampai pengakuan ini cuma jadi wacana tanpa tindakan nyata. Ini soal keadilan, bukan sekadar formalitas.
Tapi di luar soal pemerintah, masyarakat adat sendiri juga punya PR. Generasi mudanya harus mulai bergerak. Jangan menunggu semuanya hilang baru kita sadar pentingnya tradisi. Mulai dari hal kecil, seperti ngomong pakai bahasa daerah di rumah, dokumentasi adat lewat video, sampai bikin konten media sosial yang angkat budaya lokal. Dunia digital bukan cuma tempat ikut tren, tapi juga bisa jadi alat melawan lupa.
Intinya, melestarikan budaya dan mengakui hak masyarakat adat bukan soal nostalgia. Ini soal masa depan. Kita nggak bisa bicara pembangunan berkelanjutan kalau masyarakat adat terus didorong ke pinggir. Justru mereka yang selama ini paling ngerti soal hidup berdampingan dengan alam dan menjaga keseimbangan.
Penutupnya, jangan sampai kita hanya bangga sama “kekayaan budaya” di acara-acara seremonial, tapi diam ketika masyarakat adatnya kehilangan tanah, kehilangan bahasa, bahkan kehilangan tempat di negerinya sendiri. Suku Kayuagung bukan bagian dari masa lalu yang dilupakan. Mereka adalah bagian penting dari masa depan OKI—kalau kita mau mengakui dan berdiri bersama mereka, sebelum semuanya terlambat.
ALFUADI IMAMI S.Pd