Sengketa Lahan Mekar Sari 258 Hektar Menganga 20 Tahun, DPRD Banyuasin Turun Tangan

Misinews.id | Konflik agraria yang tak kunjung selesai kembali menyeruak di Kabupaten Banyuasin. Kali ini, lahan seluas 258 hektar di Desa Mekar Sari, Kecamatan Karang Agung Ilir, menjadi ajang tarik-menarik klaim antara masyarakat dan korporasi sawit, PT Tunas Jaya Negeriku (TJN). Setelah hampir dua dekade konflik ini digantung tanpa kepastian hukum, warga akhirnya bersuara lebih lantang, menuntut keadilan yang sudah terlalu lama diabaikan.

Komisi II DPRD Banyuasin akhirnya turun langsung ke lapangan pada Kamis, 21 Agustus 2025, meninjau langsung lokasi sengketa yang berada di area perkebunan PT TJN di Desa Mekar Sari. Kehadiran wakil rakyat ini menjadi titik balik penting setelah sekian lama masalah ini luput dari perhatian serius pemerintah daerah.

Namun, bagi warga, kunjungan itu bukanlah solusi akhir, melainkan hanya satu langkah kecil dari perjalanan panjang perjuangan yang melelahkan.

 

Dua Dekade Janji Kosong, Warga Tak Mau Lagi Dibodohi

Konflik ini berawal pada tahun 2004. Kala itu, PT TJN masuk dan mengklaim lahan yang telah lama digarap oleh warga Desa Mekar Sari. Warga yang sebagian besar memiliki Surat Pernyataan Hak (SPH) merasa dijegal oleh kepentingan korporasi yang datang membawa klaim berbasis dokumen perusahaan.

Erlan Hadi, perwakilan warga, dengan tegas menyuarakan kekecewaan mereka terhadap pemerintah dan perusahaan yang selama ini hanya memberikan janji tanpa realisasi. Ia mengungkapkan, pada 2019 sempat dijanjikan akan ada pengukuran ulang oleh pemerintah. Namun, seperti sebelumnya, janji itu lagi-lagi tinggal janji.

“Sejak 2004 hanya janji manis. Kami tidak mau dijanjikan lagi, kami ingin menuntut kembali lahan yang merupakan hak kami. Rata-rata warga punya bukti SPH. Kami tidak akan melepas lahan ini begitu saja,” tegas Erlan Hadi disela peninjauan lokasi bersama perwakilan perusahaan dan anggota DPRD.

Warga menyebutkan bahwa sebelum PT TJN masuk, ada perusahaan lain yang menjanjikan program pola plasma—sistem yang seharusnya memberi keuntungan bagi masyarakat melalui kemitraan perkebunan. Namun, bukan kesejahteraan yang datang, melainkan pengabaian dan pengusiran dari lahan sendiri.