Sengketa Lahan Mekar Sari 258 Hektar Menganga 20 Tahun, DPRD Banyuasin Turun Tangan

Potret Buram Sengketa Agraria: Ketika Negara Diam, Rakyat Terluka

Kasus Mekar Sari bukan sekadar konflik antara warga dan korporasi. Ia adalah potret buram dari krisis agraria nasional. Ribuan kasus serupa terjadi di berbagai penjuru negeri, di mana masyarakat adat, petani, dan warga desa tersingkir oleh penetrasi korporasi yang membawa dokumen dan relasi kekuasaan.

Warga Mekar Sari sudah terlalu lama bertahan dalam ketidakpastian. Mereka bukan perambah, bukan penyerobot. Mereka adalah rakyat biasa yang menggantungkan hidup dari tanah yang mereka rawat sejak lama. Negara, dalam hal ini pemerintah daerah dan pusat, sudah seharusnya tidak netral dalam konflik seperti ini.

Netralitas di tengah ketimpangan hanyalah bentuk lain dari keberpihakan terhadap yang kuat.

Harapan Terakhir: Kepastian dan Keadilan

Kini, dengan desakan warga yang semakin keras dan perhatian dari DPRD yang mulai terbuka, warga Mekar Sari menaruh harapan besar agar kasus ini tidak lagi berlarut. Mereka menuntut verifikasi yang terbuka, transparan, dan akuntabel, serta kehadiran negara sebagai penjamin keadilan, bukan sebagai pelayan korporasi.

Jika konflik ini terus dibiarkan menggantung, bukan tidak mungkin ketegangan akan meningkat dan menjadi konflik sosial terbuka. Dan ketika itu terjadi, sejarah akan mencatat bahwa negara absen di saat rakyatnya membutuhkan perlindungan.

Sengketa lahan 258 hektar di Mekar Sari bukan sekadar masalah hak atas tanah. Ia adalah pertaruhan antara keadilan sosial dan kekuasaan modal. Warga telah berbicara. Kini giliran negara membuktikan: berpihak kepada rakyat atau kembali membiarkan luka lama membusuk tanpa penyembuhan. *ril

News Feed