Penuhi Pemanggilan MKD DPR RI, Syafri: “Ini Bukan Sekadar Laporan, Ini Tanggung Jawab Publik”

Misinews.id | Muhammad Syafiyallah, Koordinator Front Perlawanan Rakyat (FPR) Sumatera Selatan, resmi memenuhi panggilan permintaan keterangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI, Senin siang (14/7), di Gedung Nusantara I, Komplek DPR RI, Jakarta.

Kehadiran ini merupakan tindak lanjut atas surat resmi MKD bernomor B/9594/PW\.09/7/2025 yang dikirim pada 9 Juli lalu, terkait laporan dugaan pelanggaran kode etik oleh anggota DPR RI Komisi XIII Fraksi PKB, SN Prana Putra Sohe, yang viral akibat ucapannya di ruang publik yang menyebut bahwa “resep awet muda adalah dengan sering berhubungan intim”.

Dalam agenda pemeriksaan yang berlangsung di Ruang Rapat MKD DPR RI, Syafiyallah menyerahkan sejumlah verifikasi bukti, dokumentasi aksi, serta rekaman pernyataan publik yang dinilai mencederai kehormatan lembaga legislatif.

“Saya hadir bukan sebagai pribadi, tapi sebagai suara dari keresahan masyarakat. Ketika anggota DPR mengumbar kalimat yang tidak pantas, di ruang publik, maka yang tercoreng bukan hanya partainya, tapi juga kepercayaan rakyat,” ujar Syafri kepada wartawan usai memberikan keterangan di MKD.

Ia juga menegaskan bahwa proses ini bukan untuk menjatuhkan personal, tapi untuk menegakkan standar etika publik yang semakin hari justru makin kabur oleh gaya komunikasi vulgar dari sebagian wakil rakyat.

“Kehadiran saya hari ini adalah bentuk pengingat, bahwa rakyat tidak lupa dan tidak tinggal diam. Kalau ada yang bilang ‘tidak tahu dan tidak diberi tahu’, maka hari ini kami sudah resmi menyampaikan langsung ke gedung yang tepat,” sindir Syafri.

Syafiyallah juga menambahkan bahwa dalam proses klarifikasi tersebut, ia mendapat ruang menyampaikan kronologi, dasar hukum aduan, serta dampak sosial dari pernyataan sang legislator yang menurutnya berpotensi menormalisasi perilaku tidak etis di ruang publik.

Dengan ini, FPR menyatakan akan terus mengawal proses di MKD hingga tuntas, dan meminta agar DPR RI tidak lagi membiarkan pelanggaran etika menjadi kebiasaan impunitas.

“Ini bukan soal pernyataan satu orang, ini soal menjaga akal sehat demokrasi. Kalau etika terus diremehkan, maka wakil rakyat bukan lagi jadi panutan, tapi bahan candaan,” tutup Syafri.**