Korupsi Proyek Kereta Api di Sumsel: Negara Rugi Rp1,95 Miliar, Dua Tersangka Ditahan

Misinews.id | Dugaan kasus korupsi kembali mencuat di Sumatera Selatan. Subdit III Tipikor Ditreskrimsus Polda Sumsel menetapkan dua orang tersangka dalam perkara korupsi proyek peningkatan prasarana perkeretaapian. Proyek ini berlangsung di Stasiun Lahat dan Stasiun Lubuk Linggau.

Kerugian negara akibat penyimpangan ini ditaksir mencapai Rp1,95 miliar lebih.

Proyek tersebut menggunakan anggaran APBN tahun 2022 dengan nilai kontrak sebesar Rp11,97 miliar. Pekerjaan dilakukan oleh CV Binoto di bawah Balai Teknik Perkeretaapian Kelas II Palembang, Kementerian Perhubungan.

Kontrak pekerjaan ditandatangani pada 12 September 2022 dan seharusnya rampung pada 31 Desember 2022. Namun, kenyataannya proyek tidak selesai tepat waktu dan menyisakan banyak masalah.

Dua Tersangka: Direktur CV dan ASN Kemenhub

Kedua tersangka yang kini ditahan adalah Achmad Faisal (56), Direktur CV Binoto, Panji Rangga Kusuma (35), ASN Kementerian Perhubungan sekaligus Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Keduanya diduga kuat melakukan penyimpangan dalam proses pengadaan barang dan jasa, serta pelaksanaan kontrak proyek.

Menurut AKBP Listiyono Dwi Nugroho, Wadirkrimsus Polda Sumsel, penyidik menemukan banyak pekerjaan yang tidak sesuai spesifikasi. Bahkan, ada volume pekerjaan yang kurang.

Paling mencolok, pengaspalan di Stasiun Lubuk Linggau baru selesai pada 23 Januari 2023, melebihi batas kontrak. Namun, keterlambatan itu tidak disertai dengan denda, yang seharusnya sekitar Rp248 juta.

Audit BPK Ungkap Kerugian Negara

Laporan hasil pemeriksaan BPK dengan nomor 86/LHP/XXI/12/2024 tertanggal 31 Desember 2024 menyatakan bahwa ada penyimpangan aturan yang menyebabkan kerugian negara.

Dari hasil pemeriksaan ahli konstruksi, ditemukan beton yang tidak memenuhi standar dan kekurangan volume pekerjaan. Selain itu, pembayaran tetap dilakukan meski proyek belum selesai sesuai kontrak.

Dalam proses penyidikan, polisi telah mengamankan 109 dokumen. Dokumen-dokumen tersebut mencakup kontrak, laporan progres pekerjaan, bukti pembayaran, hingga administrasi pengadaan barang dan jasa.

Penyidik menegaskan akan terus mendalami keterlibatan pihak lain dalam proyek ini. Kasus ini menjadi contoh nyata lemahnya pengawasan proyek APBN, terutama yang dikelola oleh oknum nakal.*