Ketua Umum KOHATI BADKO HMI SUMBAGSEL Kecam Keras Tindakan Bejat Seorang Ayah di Bangka Selatan, Serukan Perlindungan Maksimal bagi Korban

MisiNews.id | Palembang,  – Ketua Umum Korps HMI-Wati (Kohati) Badko HMI Sumatera Bagian Selatan (SUMBAGSEL), \[Meta Firdayanti], menyampaikan kecaman keras terhadap tindakan tidak berperikemanusiaan seorang ayah yang menyetubuhi anak kandungnya yang masih berusia 11 tahun di Bangka Selatan. Ia menyebut bahwa perbuatan tersebut adalah bentuk kekerasan seksual paling keji yang merusak masa depan dan mental seorang anak.

“Kejadian ini bukan hanya mencabik rasa keadilan dan kemanusiaan, tapi juga menunjukkan bahwa sistem perlindungan terhadap anak masih sangat lemah. Korban adalah anak yang masih membutuhkan bimbingan dan rasa aman, bukan justru menjadi sasaran kekerasan dari orang terdekatnya, Tidak ada alasan apapun yang dapat membenarkan seorang ayah menyakiti darah dagingnya sendiri, apalagi dalam bentuk kekerasan seksual. Ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah sebagai orang tua,” tegas \[Meta Firdayanti].

Kohati Badko SUMBAGSEL juga mendesak aparat penegak hukum untuk memberikan hukuman seberat-beratnya kepada pelaku sesuai Undang-Undang Perlindungan Anak, agar ada efek jera dan keadilan bagi korban dapat ditegakkan. Kohati mendorong agar proses hukum berjalan transparan dan cepat serta memastikan perlindungan psikologis dan pendampingan berkelanjutan bagi korban.

Menanggapi kasus tersebut, Kohati Badko SUMBAGSEL menyampaikan lima poin tuntutan khusus untuk perlindungan dan pemulihan korban :

1. Pemulihan Psikologis Intensif dan Jangka Panjang

Menuntut pemerintah daerah, khususnya melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A), untuk menyediakan layanan psikolog profesional yang mendampingi korban secara berkelanjutan hingga dinyatakan pulih secara emosional dan mental.

2. Pemisahan Tempat Tinggal dan Perlindungan Fisik

Mendesak agar korban ditempatkan di lokasi yang aman dan jauh dari pelaku atau keluarga yang berpotensi melakukan kekerasan lanjutan, misalnya rumah aman (shelter) yang diawasi oleh pihak berwenang.

3. Pendampingan Hukum Khusus untuk Korban Anak

Meminta kehadiran pendamping hukum dan pekerja sosial yang memiliki kompetensi khusus dalam menangani kasus kekerasan seksual pada anak, agar korban tidak mengalami trauma tambahan selama proses hukum berlangsung.

4. Pembuatan Rencana Reintegrasi Sosial yang Berperspektif Anak

Memastikan bahwa korban tidak mengalami stigma sosial, melalui pendekatan reintegrasi sosial yang melibatkan konselor, tokoh masyarakat, dan organisasi perlindungan anak. Ini termasuk memastikan lingkungan sekitar korban mendukung proses penyembuhan, bukan memperparah luka batinnya.

5. Menuntut perlindungan dan pemulihan menyeluruh bagi korban, termasuk layanan hukum, psikologis, dan sosial tanpa diskriminasi maupun intimidasi oleh pihak manapun.

“Kami akan terus mengawal kasus ini dan memastikan bahwa korban tidak hanya menjadi angka dalam data kriminalitas, tetapi mendapatkan kembali hak dan masa depan yang layak sebagai seorang anak dan mendorong berbagai pihak untuk bersama sama mengawal kasus ini hingga menemukan titik temu keadilan untuk korban dan juga menciptakan lingkungan yang aman dari kekerasan seksual. Negara harus hadir penuh,” tegas \[Meta Firdayanti].