MisiNews.id | Palembang –
Oleh : fadhilah Amirullah S.E
Di negeri ini, suara rakyat sering kali dianggap bising. Ketika disampaikan lewat forum resmi, ia diabaikan. Ketika disalurkan lewat jalur hukum, ia diperlambat. Dan ketika akhirnya rakyat turun ke jalan, suara itu justru dihadapi dengan gas air mata, pentungan, dan represi. Beginilah wajah demokrasi di Indonesia hari ini.
demokrasi yang dikhianati oleh mereka yang berkuasa.
Gelombang aksi demonstrasi yang kembali membara di berbagai kota bukanlah sekadar keributan jalanan. Itu adalah tanda kemarahan rakyat, sebuah letupan dari rasa muak yang sudah lama ditimbun. Rakyat kecil semakin terhimpit oleh harga kebutuhan pokok yang melonjak, lahan dirampas atas nama investasi, sumber daya alam dijarah oleh korporasi, sementara segelintir elit politik dan oligarki terus menghisap keuntungan.
Massa turun ke jalan bukan karena ingin merusak, melainkan karena dipaksa oleh keadaan. Jalanan adalah “parlemen rakyat” ketika parlemen resmi sudah terlalu sibuk melayani kepentingan penguasa dan pemodal. Orasi yang menggema dari atas mobil komando adalah teriakan keadilan yang tak pernah didengar di ruang rapat mewah para pejabat.
Namun, apa yang rakyat terima? Bukan dialog, bukan solusi, melainkan represi. Aparat keamanan—yang sejatinya dibayar dari keringat rakyat—justru menjadi tameng bagi kekuasaan. Gas air mata ditembakkan membabi buta, pentungan diayunkan ke tubuh mahasiswa dan buruh, penangkapan dilakukan hanya untuk membungkam. Negara sekali lagi menunjukkan wajah aslinya: takut pada kritik, alergi pada kebenaran, dan berusaha melanggengkan kekuasaan dengan kekerasan.
Aktivis dari berbagai elemen gerakan dengan tegas menyatakan: semakin keras rakyat ditekan, semakin kuat pula perlawanan akan tumbuh. Sejarah Indonesia membuktikan, setiap rezim yang menutup telinga pada rakyat akhirnya tumbang oleh gelombang perlawanan. Reformasi 1998 adalah contoh nyata bagaimana keberanian rakyat di jalanan mampu meruntuhkan tembok kekuasaan yang selama puluhan tahun dianggap kokoh.
Hari ini, rakyat kembali dihadapkan pada situasi serupa. Jika rezim terus berpura-pura tuli, maka jalanan akan kembali menjadi arena perlawanan yang tak bisa dibendung. Perlawanan ini bukan hanya soal menolak kebijakan tertentu, melainkan soal menuntut keadilan yang lebih besar: keadilan sosial, hak atas hidup layak, dan kedaulatan rakyat atas negeri ini.
Kita harus ingat, demokrasi bukan hadiah dari penguasa, melainkan hasil dari perjuangan rakyat. Maka, ketika demokrasi coba dicederai, rakyat punya hak sekaligus kewajiban untuk melawan. Demonstrasi bukanlah kejahatan. Yang sejatinya menjadi kejahatan adalah ketika pemerintah abai, korupsi merajalela, aparat represif, dan rakyat terus dikhianati.
Menurut saya (Fadhilah Amirullah): rakyat tidak boleh mundur. Setiap langkah mundur hanya akan membuat penguasa semakin berani menginjak-injak. Jalanan harus terus menjadi panggung perlawanan sampai suara rakyat benar-benar didengar. Karena perjuangan ini bukan hanya tentang hari ini, tetapi tentang masa depan. Tentang warisan yang akan kita berikan pada generasi berikutnya: apakah mereka hidup dalam ketakutan, ataukah mereka hidup dalam keadilan.
Jika penguasa terus menutup telinga, jangan salahkan rakyat bila gelombang perlawanan ini membesar menjadi badai. Karena rakyat yang lapar, rakyat yang marah, dan rakyat yang bersatu adalah kekuatan yang tak bisa dibendung oleh gas air mata ataupun pentungan. Jalanan akan tetap membara, sampai keadilan berpihak kepada yang seharusnya: rakyat.